JAKARTA — Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) resmi menjatuhkan sanksi berat kepada Asosiasi Sepak Bola Malaysia (FAM) atas dugaan penggunaan tujuh pemain asing secara ilegal dalam laga kualifikasi Piala Asia 2024. Kasus ini mencuat setelah ditemukan indikasi penggunaan akta kelahiran palsu oleh sejumlah pemain untuk mengklaim asal-usul Malaysia.
Dalam pertandingan pada Juni lalu, Malaysia mencatat kemenangan telak 4-0 atas Vietnam. Namun, FIFA menemukan bahwa tujuh pemain kelahiran luar negeri yang tampil dalam laga tersebut diduga memalsukan dokumen kewarganegaraan dengan mengaku memiliki kakek-nenek asal Malaysia.
Atas pelanggaran itu, FIFA menjatuhkan denda sebesar 438.000 dolar AS (sekitar Rp7 miliar) kepada FAM dan menangguhkan para pemain yang terlibat. FAM membantah tuduhan tersebut dan menyatakan akan mengajukan banding.
“Kami meyakini tidak ada bukti yang mendukung tuduhan FIFA. Karena itu, FAM akan menempuh langkah hukum melalui mekanisme banding,” demikian pernyataan resmi FAM awal Oktober lalu.
Naturalisasi dalam Sorotan
Kasus ini kembali menyoroti praktik naturalisasi pemain di Asia Tenggara yang selama ini dianggap sebagai strategi cepat untuk memperkuat tim nasional. Pengamat sepak bola kawasan menilai, kasus Malaysia menjadi peringatan serius bagi negara lain.
“Ini peringatan bagi Asia Tenggara. Negara lain pasti akan berpikir dua kali dalam melakukan naturalisasi,” ujar mantan pemain internasional Singapura, Sasi Kumar, dikutip dari Deutsche Welle (DW).
Sasi mencontohkan, Singapura sangat berhati-hati dalam proses naturalisasi. “Malaysia melakukannya terlalu cepat. Di Singapura, kami butuh waktu dua tahun untuk mengurus pemain seperti Perry Ng dari Cardiff,” ujarnya.
Sejak 2008, FIFA memperketat aturan naturalisasi. Seorang pemain kini harus tinggal dan bermain di liga domestik lima tahun berturut-turut sebelum berhak membela tim nasional, naik dari ketentuan sebelumnya yang hanya dua tahun.
Anggota Komite Eksekutif Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), Shaji Prabhakaran, menegaskan bahwa penerapan regulasi FIFA harus dibarengi dengan sistem verifikasi ketat dan transparan. “Masalah ini tidak hanya soal aturan FIFA, tapi juga menyangkut perbedaan regulasi kewarganegaraan di tiap negara. Keterbukaan menjadi kunci,” katanya.
Naturalisasi dan Dampaknya
Malaysia bukan satu-satunya negara yang mengandalkan pemain naturalisasi. Rival terdekatnya, Indonesia, juga tengah menikmati hasil dari strategi serupa, dengan sejumlah pemain kelahiran Eropa memperkuat skuad Garuda hingga hampir lolos ke Piala Dunia 2026.
“Indonesia berhasil menyeimbangkan strategi jangka pendek dan pembangunan pemain muda. Mereka menaturalisasi untuk memperkuat tim utama, tapi tetap menyiapkan talenta lokal,” kata Sasi Kumar.
Sementara itu, Uni Emirat Arab dan beberapa negara Asia lainnya juga memanfaatkan aturan naturalisasi untuk meningkatkan performa, terutama sejak format Piala Dunia 2026 diperluas menjadi 48 tim.
Prabhakaran menilai tren naturalisasi memang sulit dihindari di era globalisasi. “Dengan slot Piala Dunia yang lebih banyak, peluang tiap negara makin besar. Naturalisasi menjadi jalan cepat untuk memperbaiki kualitas tim nasional,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketergantungan berlebihan pada pemain naturalisasi bisa merusak sistem pembinaan lokal. “Naturalisasi boleh saja, tapi harus seimbang dengan investasi di akar rumput. Kalau hanya mengejar hasil cepat tanpa membangun dari bawah, sistem akan rapuh,” tegasnya.
Krisis Identitas di Tim Nasional
Selain soal etika dan regulasi, skandal ini juga menimbulkan perdebatan mengenai identitas dan representasi nasional. Banyak pihak mempertanyakan sejauh mana tim yang berisi pemain kelahiran luar negeri masih bisa dianggap mewakili rakyatnya.
“Tim Malaysia yang mengalahkan Vietnam, seberapa Malaysian mereka?” ujar pelatih klub Vietnam The Cong-Viettel, Velizar Popov, yang pernah melatih klub Malaysia, Kelantan. “Banyak dari pemain itu tidak punya keterikatan emosional dengan negara dan fans. Sekarang kita tahu, itu bukan tim Malaysia yang sesungguhnya.”
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia sepak bola Asia Tenggara, sekaligus membuka kembali diskusi soal batas etis dan moral dalam naturalisasi pemain. FIFA menegaskan akan terus memantau kasus ini dan memastikan bahwa integritas kompetisi internasional tetap terjaga.**